Pakar Kebijakan Publik: Covid-19 Berdampak pada Prevalensi Stunting

Selasa, 19 Mei 2020 - 18:59 WIB
loading...
Pakar Kebijakan Publik: Covid-19 Berdampak pada Prevalensi Stunting
Foto/Ilustrasi SINDOnews
A A A
JAKARTA - Selain merenggut nyawa, wabah Covid-19 juga menggerogoti perekonomian. Jumlah pengangguran dan angka kemiskinan Indonesia diprediksi meningkat. Warga miskin diperkirakan bisa bertambah 3,78 juta orang dan pengangguran bertambah 5,23 juta orang.

Meningkatnya jumlah penduduk miskin tersebut, dipastikan berdampak terhadap prevalensi stunting, yang merupakan prioritas program kerja pemerintah. Target pemerintah menurunkan stunting hingga 14% dinilai sulit dicapai apabila perhatian terhadap gizi anak di tengah masa pandemi Covid-19 ini berkurang. (Baca juga: Dampak Corona, Pengangguran Bisa Bertambah 4,22 Juta Tahun Ini)

Pakar kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, dirinya menyayangkan perhatian pemerintah terhadap stunting dan gizi buruk yang teralihkan akibat Covid-19. “Yang harus disadari, stunting ini dampaknya 30 tahun mendatang. Saat dunia makin kompetitif, anak-anak yang hari ini tidak cukup gizinya akan semakin terbelakang,” ujar Agus.

Menurut Agus, penanganan stunting dan gizi buruk seharusnya tidak lantas terhenti akibat pandemi. Sebab dapat tetap dilakukan melalui pemberian makanan tambahan (PMT) dan program bantuan pangan yang lebih tepat sasaran. Tepat sasaran yang dimaksud Agus bukan hanya penerima, namun juga komposisi isinya harus memenuhi kebutuhan gizi anak dan keluarga. (Baca juga: Pandemi Corona, Ancam Terhambatnya Target Penurunan Angka Stunting)

“Sekarang di dalam bantuan pangan atau sembako, ada produk tinggi kandungan gula seperti susu kental manis. Ini kan tidak tepat diberikan kepada masyarakat apalagi nanti jadi konsumsi anak-anak. Jadi saya harap hindari memasukan makanan yang tidak baik untuk pertumbuhan,” tegas Agus Pambagio, dalam diskusi media yang berlangsung melalui zoommeeting, Selasa (19/05/2020).

Senada dengan Agus, dokter anak Dr. dr. Tubagus Rachmat Sentika, Sp.A, MARS mengakui sudah lumrah bagi masyarakat Indonesia menerima sembako berisi berbagai produk instan, termasuk susu kental manis.

“Sekilas, bantuan ini terlihat meringankan masyarakat. Namun bila diperhatikan, bantuan untuk masyarakat dengan komposisi tersebut belum tentu meringankan beban keluarga. Saya sebagai dokter anak prihatin dengan adanya (susu) kental manis di dalam bansos, karbohidratnya lebih dari 46%. Ini dilarang dan tidak boleh untuk anak di bawah 18 tahun,” ujar dokter anak yang akrab disapa Rachmat ini.

Dalam kesempatan yang sama, dokter Rachmat menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah di masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ini. Pemerintah mengurangi pelayanan kesehatan dasar seperti posyandu, puskesmas dan poliklinik yang tentu saja mengurangi program-program upaya kesehatan masyarakat (UKM).

"UKM ini seharusnya tidak boleh berhenti karena menyangkut program prioritas, salah satunya adalah stunting. Bayangkan, sudah ada 8 juta orang stunting, dan angka ini yang akan kita hadapi usai pandemi. Re-focussing anggaran akibat pandemi seharusnya di luar program-program prioritas pemerintah,” jelasnya.

Menjawab persoalan di atas, dr. RR. Dhian Probhoyekti SKM, MA, Direktur Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan, upaya penanganan stunting tetap dilakukan dengan protokol Covid-19. (Baca juga: 20.000 Paket Sembako Bantuan Presiden Sasar Warga Solo Terdampak Corona)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1983 seconds (0.1#10.140)