Mahasiswa Ini Kembangkan Tangan Prostetik Melalui Gelombang Otak

Minggu, 04 Agustus 2019 - 13:46 WIB
Mahasiswa Ini Kembangkan Tangan Prostetik Melalui Gelombang Otak
UI Kembangkan Tangan Prostetik Melalui Gelombang Otak. Foto/Antara
A A A
JAKARTA - Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) mengembangkan tangan palsu untuk kebutuhan para disabilitas yang dapat digerakkan melalui gelombang otak yang dikonversi menjadi sebuah gerakan.

Jadi, tangan palsu ini tidak menuntut penggunanya untuk melakukan operasi penanaman tangan palsu karena penggunaannya cukup ditempel di kepala dan tangan atau kaki.

Penyandang disabilitas merupakan individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau mental/intelektual.

Keterbatasan ini membuat mereka tidak bisa beraktivitas layaknya orang normal pada umumnya. Setiap penyandang disabilitas memiliki permasalahan yang dihadapi.

Ketiadaan sebagian anggota tubuh membuat mereka berharap ada suatu keajaiban yang dapat memulihkannya, seperti tantangan yang diberikan kepada Arifin, mahasiswa jurusan Teknik UI.

Arifin mendapat tantangan dari komunitas disabilitas di Australia untuk menciptakan sebuah alat yang dapat membantu mereka. Arifin mengajak beberapa rekannya untuk menjawab tantangan yang diberikan.

“Ide ini dari saya sendiri, saya mendapat challenge dari komunitas disabilitas di Australia melalui forum online untuk teknologi, khusus robotik,” kata Arifin Arifin memiliki minat dan bakat bidang robotik sejak sekolah menegah atas (SMA).

Kecintaannya itu ia kembangkan melalui berbagai media sosial dan media online, khususnya forum robotik.

Arifin menjelaskan bahwa permasalahan yang terjadi pada komunitas disabilitas adalah terkait paraplegia atau penyakit tulang belakang.

Paraplegia menyebabkan kelumpuhan yang memengaruhi seluruh atau sebagian anggota tubuh. Paraplegia dapat terjadi karena cedera sumsum tulang belakang.

Kondisi ini disebabkan kerusakan pada tulang, ligamen, atau cakram kolom tulang belakang. “Jadi ketika tulang belakang kecelakaan, biasanya menyebabkan kelumpuhan karena dari otak, impulsnya dikirim ke tulang belakang, dari tulang belakang dikirim ke saraf motorik tangan, kaki, dan lainnya,” tambahnya.

Jika dibayangkan, fungsi tulang belakang ini seperti terminal yang menghubungkan ke segala arah. Kecelakaan pada pinggang ke bawah dapat memengaruhi kerja daerah kaki dan kecelakaan leher ke bawah dapat memengaruhi kerja kakitangan.

Penyakit paraplegia ini tidak mampu mengirim impuls otak ke otot sehingga kursi roda atau alat bantu lain pun tidak bisa digunakan. Hal ini dikarenakan penggunaan alat bantu tersebut diambil langsung dari otot.

Untuk beberapa waktu, Arifin berpikir bagaimana caranya menggunakan teknologi yang bisa memanfaatkan pikiran. Arifin menemukan literatur tentang teknologi electroencephalography (EEG) yang mampu membaca gelombang otak.

Berdasarkan literatur yang Arifin dapatkan, sebagian besar penggunaan teknologi EEG ini hanya untuk mengetahui kerja otak.

Artinya, EEG digunakan untuk mendeteksi adanya kelainan pada otak atau untuk mengetahui seberapa fokus kita belajar dan bekerja, termasuk tingkat depresi, belum digunakan untuk kontrol gerakan.

Arifin sempat berpikir untuk membuat eksoskeleton, yaitu sejenis robot yang ada di luar tubuh. Sayangnya, ia memiliki banyak keterbatasan dan belum mempunyai pengalaman di bidang itu. “Eksoskeleton, robot yang ditaruh di luar tubuh yang ngebantuin kayak ironman (baju) gitu lah, tapi dia tangan dan kakinya ada,” kata Arifin.

Awalnya, Arifin mengajak teman satu fakultasnya, Muhammad Yusuf Abdurrahman, yang memiliki kemampuan di bidang manufacturing. Mereka melakukan penelitian ini sejak Desember 2017.

“Saya di bidang robotiknya, dia manufacturing dan mekanikanya, kita kolaborasi berdua,” tambahnya.

Para mahasiswa UI itu membutuhkan dana yang sangat besar untuk melakukan riset tangan prostetik robotik. Mereka tidak bisa mengajukan dana sendiri ke pihak kampus sehingga meminta dosen pembimbing untuk mengajukan program penelitian.

“Saya minta Pak Agung Samsudin selaku dosen pembimbing, saya menawarkan proyek ini ke Pak Agung dan akhirnya kita melakukan riset bareng sebagai satu tim,” katanya.

Mereka mendapatkan dana cukup besar, yaitu Rp200 juta. Dana ini dimaksimalkan untuk pembuatan tangan palsu agar dapat dijual di pasaran.

Setelah mendapatkan dana penelitian, mereka harus update report progress hasil penelitian ke kampus. Hasilnya cukup positif, teknologi kontrol untuk tangan palsu sudah sempurna.

Sistem ini sudah terintegrasi dengan internet of things (IoT) sehingga bisa mengontrol semua alat yang sudah terintegrasi dengan IoT menggunakan pikiran.

Namun, dari segi mekanik masih terus menyempurnakan agar dapat berfungsi layaknya menggerakkan tangan biasa. Ada beberapa karakteristik yang perlu diperhatikan saat menggunakan tangan palsu ini.

Karakteristik ini akan menentukan gerakan tangan sesuai dengan gelombang otak yang dipancarkan. “Misalkan kita berpikir, kita bisa membagikan sinyal (otak) itu ke beberapa karakteristik,” tambahnya.

Pertama adalah kognitif, yaitu gerakan mendorong, menarik, dan menggeser ke kanan dan kiri. Kedua adalah ekspresi, yaitu perubahan sikap saat jengkel, rileks, atau fokus.

Ketiga adalah motorik, yaitu sensor untuk menggerakkan tangan dan kaki.

Arifin dan rekannya fokus pada 2 bagian di otak, yaitu lobus frontal dan motorik. Lobus frontal adalah bagian terdepan otak yang terletak tepat di belakang dahi.

Lobus frontal digunakan untuk mengatur gerakan, perencanaan, pengambilan kepu tusan, memori, dan perilaku sosial.

Kemudian, motorik membawa sinyal dari otak dan sumsum tulang belakang ke otot dan kelenjar dalam tubuh. Motorik berperan penting dalam gerakan dalam tubuh.

“Di otak sendiri banyak titik, ada banyak bagian, kita fokus di dua bagian yaitu lobus frontal untuk kognitifnya bagian depan dahi, motorik untuk motor area bagian otak, sekitar ubun-ubun,” tambahnya.

Saat otak mengeluarkan gelombang, mesin learning akan membaca sinyal yang disampaikan. Data yang diterima oleh mesin learning bisa mencapai ratusan, bahkan ribuan, sesuai dengan tujuan apa yang diinginkan.

Setiap gelombang memiliki karakteristik yang berbeda. Gerakan tangan seperti mendorong, menarik, memegang, mencubit, dan sebagainya, merupakan hasil analisis mesin learning dari gelombang otak.

Para penyandang disabilitas membutuhkan prostetik yang merupakan alat bantu saat beraktivitas. Namun, prostetik masih relatif sangat mahal.

Arifin mengatakan bahwa penggunaan tangan prostetik di Indonesia hampir tidak ada.Hanya ada satu orang, yaitu Siswandi, yang menggunakan tangan prostetik dari Jerman, namanya prostetic bebeonic.

Saat ini, satu prostesis tangan dengan sistem gerak fungsional berada di kisaran Rp500 juta. Harga itu belum ditambah dengan biaya operasi penyatuan, yang kisaran harganya sampai Rp150 juta, dengan penanaman chip di dalam otot.

Sementara Afta B-ionik memiliki keunggulan, yaitu harganya yang lebih terjangkau, mudah dilepas dan dipasang. Penggunanya tidak perlu melakukan tindakan operasi untuk menanamkan sensor ke otot karena langsung dikendalikan dengan gelombang otak.

Pemasangan tangan prostetik ini menggunakan soket yang diletakkan pada bahu. Sensor di kepala pun hanya ditempel dengan alat yang mudah digunakan.

“Dengan moto change disability into ability, saya dan tim berinovasi membuat alat bantu berupa prostesis tangan robotik yang fungsional, canggih, dan terjangkau (low-cost),” kata Arifin.

Saat ini, Afta B-ionik telah dibuatkan prototipe dan akan terus disempurnakan hingga benar-benar siap untuk diperjualbelikan.

Jika diperjualbelikan, Afta B-ionik bisa berada di kisaran harga Rp50 juta. “Ini jauh dibandingkan harga pasaran di luar,” ungkapnya.

Beberapa universitas di Indonesia juga pernah mengembangkan tangan prostetik, tapi impulsnya menggunakan otot tangan.

Padahal, sebagian besar disabilitas tidak mempunyai tangan atau kaki sejak masih bayi sehingga mereka tidak tahu cara menggerakkan otot tangan ataupun kaki.

Arifin pernah berkonsultasi dengan dr Fitri yang merupakan dokter rehap medis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Fitri menuturkan penggunaan impuls pada tangan hanya bisa digunakan untuk orang-orang yang kaki atau tangannya diamputasi.

“Beliau (dokter Fitri) mengatakan, itu tidak bisa digunakan oleh orang-orang yang tidak punya tangan atau kaki sejak kecil, otot-otot mereka pun lemah dan tidak punya pengalaman mengontrol tangan,” jelasnya.
(boy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.2212 seconds (0.1#10.140)