UU dan Seleksi Pimpinan Pemicu Menurunnya Kepercayaan Publik terhadap KPK

Selasa, 25 Februari 2020 - 11:42 WIB
UU dan Seleksi Pimpinan Pemicu Menurunnya Kepercayaan Publik terhadap KPK
Gedung KPK. Foto/Dok SINDO
A A A
JAKARTA - Tingkat kepercayaan publik pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menurun drastis berdasarkan survei awal 2020. Hal ini didapati dari beberapa hasil survei misal, Alvara melaporkan KPK hanya menempati posisi 5 (lima) lembaga negara yang dipercayai.

Lalu survei terbaru Indo Barometer menyebutkan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada di nomor 4 (empat), kalah dari TNI dan Polri. Padahal pada tahun 2016-2018, berdasarkan survei nasional yang dilakukan tiga lembaga berbeda, yakni Polling Centre, CSIS, dan Lembaga Survei Indonesia (LSI), tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada di peringkat pertama, bahkan mengalahkan kepercayaan publik terhadap Presiden.

"Survei terbaru di atas menggambarkan situasi pemberantasan korupsi yang semakin memburuk dan menipisnya harapan masyarakat Indonesia terhadap KPK," ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Selasa (25/2/2020).

Kurnia menyebut, tidak dapat dipungkiri situasi terkini KPK banyak mengalami perubahan. Hal itu dipicu setidaknya dua hal. Pertama, seleksi Pimpinan KPK yang buruk membuat pimpinan KPK terpilih sarat kontroversi. Catatan ICW selama proses pemilihan Pimpinan KPK pada 2019 mengungkap temuan krusial, di antaranya pansel yang mengabaikan aspek integritas dan rekam jejak para calon.

"Hasilnya, lima Pimpinan KPK yang terpilih memiliki banyak catatan, mulai dari diduga melanggar kode etik maupun rendahnya kepatuhan dalam pelaporan LHKPN. Belum lagi keterkaitan Pimpinan KPK dengan kasus korupsi yang saat itu tengah disidik KPK," ungkapnya.

Kedua, lanjut Kurnia, Undang-Undang KPK yang dalam proses penyusunannya menjelaskan kepada publik berbagai manuver dan kejanggalan yang ditunjukkan DPR dan Pemerintah/Presiden. Tidak hanya berhenti pada proses formil pengesahan revisi UU KPK saja, niat untuk melemahkan KPK pun tercermin dari substansi revisi.

"ICW mencatat setidaknya ada 15 poin krusial dalam UU KPK baru. Mulai dari menggeser makna independensi KPK, pembentukan instrumen pengawasan yang keliru, kewenangan berlebih dari Dewan Pengawas, penerbitan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan, sampai pada alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara."

Bahkan, kata Kurnia, beberapa saat setelah Pimpinan KPK baru terpilih dan UU KPK baru disahkan, dampak buruknya langsung terlihat. Misalnya Pimpinan KPK gagal menjelaskan persoalan terkait rencana penyegelan Kantor DPP PDIP yang batal.

"Lalu Pimpinan KPK gagal melindungi tim KPK yang sedang mencari Harun Masiku di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Pimpinan KPK bertindak semena-mena terhadap Penyidik KPK, Kompol Rosa dan Pimpinan KPK memainkan politik gimmick seperti misal menjadi koki nasi goreng," tuturnya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.2865 seconds (0.1#10.140)